Senin, 26 Maret 2012
MONOLOG PADA KRITIK SASTRA
Kata “kritik” punya citra yang cenderung negatif. Cukup beralasan apabila dalam pertumbuhannya istilah itu digunakan secara hati-hati. Dalam tradisi Nusantara kita yang menghormati tata krama dan kesantunan, istilah tersebut dapat menyakitkan telinga orang sehingga dianggap saru dan setengah tabu. Dengan demikian, sangatlah wajar jika J.E. Tatengkeng memakai istilah “penyelidikan” dan “pengakuan” sebagai alih-alih istilah kritik saat ia menulis dalam majalah Poedjangga Baroe. Menurutnya, bunyi kritik sangatlah tajam “saya dengar dalamnya rumah yang runtuh, bunyi pisau yang tumpul yang ditarik-tarik dalam daging yang mentah….kritik dalam kalangan mana pun, selalu merusakkan, mematikan, berarti caci maki” (Jassin, 1987) .
Kritik memang produk budaya Barat yang sudah terbiasa dengan sifat individualistis. Namun, bukan berarti kita bangsa Timur tidak pernah mengenalnya. Secara hakikat kita telah mengakrabinya. Adanya kata “tegur”, “timbang”, “pendapat”, ‘nilai”, “harga”, “pandang”, “ukur”, “ulas”. “sindir” dan “tafsir” dapatlah dijadikan sebagian bukti ( Awang, 1995). Yang tidak lazim adalah meng-”kritik” secara langsung tepat menembus sasaran. Untuk sampai pada simpulan bahwa sesuatu itu jelek, orang akan mengawalinya dengan kata “bagus!”, kemudian melanjutkannya dengan kata “tetapi….”. Tenggang rasa dan berusaha tidak melukai hati orang yang dikritik, tampaknya masih menjadi ciri tradisi dan budaya kita. Nenek moyang kita menyelimuti hakikat kritik itu dengan ragam ungkapan kata, seperti yang tertuang dalam peribahasa, perumpamaan, bahkan dalam puisi dan hikayat yang mereka buat. Bukan kebetulan jika kritik terdapat dalam ungkapan menepuk air didulang, terpercik ke muka sendiri atau dalam pantun berikut:
Kemumu di tengah pekan
diembus angin jatuh ke bawah
ilmu yang tidak diamalkan
bagai pohon tidak berbuah
Penemuan Umar Junus terhadap Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja-Raja Pasai, dan Kaba Cidua Mato sebagai karya yang mengkritik istana, kiranya dapat memperkuat sinyalemen kita.
Kritik sastra sebagai penilaian baik buruk hasil sastra tulis atau sebagai salah satu cabang ilmu sastra memang merupakan pemahaman baru yang bersumber dari Barat dan diterapkan pada karya sastra yang terpengaruh Barat. Sebut saja, misalnya puisi Sutardji Calzoum Bachri yang bersemangat mantra. Memang, kita tidak perlu melihatnya sebagai dua tradisi sastra yang berbeda, melainkan tradisi yang bersinambung. Terlebih-lebih jika kita mengingat T.S. Eliot (1960) yang memandang tradisi sebagai historical sense; tidak dapat dielakkan, orang mesti menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak final, bahkan terus berproses karena munculnya karya-karya baru. Akan tetapi, tradisi tidak identik dengan tradisional. Puisi Tardji yang telah kita singgung tadi, meskipun beraroma mantra, di dalamnya terdapat ramuan kontemporer yang mengingatkan kita pada puisi konkretnya E.E. Cummings dan Appollinaire.
Fenomena di atas sudah barang tentu bermanfaat bagi pengarang yang menyeriuskan diri dalam berkarya sehingga hasilnya tidak sekedar respons terhadap kehidupan yang dialaminya, melainkan sebagai kristalisasi dari tradisi sastra yang ditelusurinya. Namun semua orang akan sepakat, tidak ada keharusan bagi pengarang untuk “buka kartu” dalam setiap proses kreatifnya sehingga kerja menyair boleh saja seperti menebar ikan di sebuah kolam dan berharap mendapat kepuasan ketika orang-orang berusaha menangkapnya. Lantas, siapa yang akan dan mesti peduli? Di sinilah kita kembali pada persoalan kritik. Meskipun tidak ada undang-undang yang mengatur tugas sastrawan dan kritikus, dapatlah dipastikan bahwa pihak pertama mesti kreatif dan pihak kedua seyogianyalah untuk responsif dan reseptif.
Apabila sastrawan dan kritikus bekerja sesuai dengan kodratnya, kelangsungan hidup kesusastraan dimungkinkan untuk survive sewajarnya tanpa stagnasi dan tetap kritis. Sastrawan yang kreatif dimungkinkan untuk menghasilkan karya -karya yang kreatif dan reaktivitas kritikus memungkinkan teori dan sejarah sastra bernafas secara layak dan lega.
Karena kritikus berkutat di antara jejaring yang merentang antara konvensi dan inovasi sastra, maka temuannya dapat berupa potret sastra berbagai pose: menantang, telanjang, meski juga ada yang buram dan bergelap-gelap. Hasilnya mungkin saja dapat dijadikan materi bangunan sejarah sehingga dalam Angkatan Pujangga Baru terpahat Amir Hamzah sebagai sosok raja penyair; dalam Angkatan ‘45 timbul relief Chairil Anwar sebagai sang pelopor, dalam Angkatan ‘66 menegak benteng Taufik Ismail, dan Sutardji dipancang Popo Iskandar, Dami N. Toda, dan Umar Junus sebagai menara puisi kontemporer! Jika bangunan mesti diperluas sebab terlalu sempit dan wilayah belum banyak tergarap, maka Lie Kim Hok pun dapat dicari keabsahannya agar dapat dipatok sebagai pelopor novel modern.
Hasil-hasil kritik dapat juga menggambarkan sosok karya sastra yang lebih dimensional sehingga dapat memunculkan kategori, klasifikasi, bahkan menuntaskan jawaban “apa itu sastra”. Dengan begitu, kita dapat mengerti betapa pantasnya Wellek (1978) menjadikan kritik, teori, dan sejarah sebagai komponen yang berjalin dan berkelindan. Berkaitan dengan itu, hal yang wajar jika Budi Darma (1995) menganggap komponen sastra itu cuma ada dua: karya sastra dan…kritik sastra.
Namun, arus zaman kini tampaknya berusaha menggoyah, menggoyang, bahkan kalau bisa merobohkan komponen kritik di dalam ekologi dan konstelasi sastra. Dari perbalahan sastra, terutama di media surat kabar dan majalah yang dimulai akhir tahun 90-an), mencuat ide kritik tanpa penilaian dan menciutkan kritik ke dalam esai. Bahkan, Faruk meniup pemisahan antara sastra dan nonsastra (termasuk kritik sastra) sebab menurutnya semua cuma mitos yang dicipta kaum romantik. Agus R. Sarjono tidak salah ketika mengatakan, kritik tanpa penilaian cuma bagus untuk retorika. Namun, kritikus Northrop Frye sangat berwibawa sebagai kritikus mytopoeic, meskipun menolak kritik yang menilai. Masalahnya, tepat seperti dibidik Grebstein (1968) kritik sastra yang baik lebih banyak bergantung pada orangnya; bukan pada sistem, formula, maupun teori yang disandangnya. Kita pun pernah diingatkan oleh Dami N. Toda: kemampuan bermetode bukan soal utama, melainkan kepekaan kritikus dalam menyelami dan menangkap seluruh kemungkinan isyarat yang ada pada sebuah karya dan mensistematisasikannya kepada pembaca.
Dunia akademis memang sudah kodratnya untuk bekerja dengan pola-pola yang standar. Standardisasi itu perlu agar orang terlatih dengan disiplin akademis, sedangkan dunia esai cenderung menolaknya karena lebih banyak bekerja dengan gaya nonteknis dan dalam mempertahankan argumennya, esai dengan bebas dan relaks dapat menggunakan ilustrasi, anekdot, dan humor (Abrams, 1988). Akan tetapi apabila orang telah dapat menjebol dunia akademis dan terlontar dalam hiruk-pikuk dunia kolong langit, sebagai pribadi yang bertanggung jawab ia pun bebas untuk berimprovisasi dan ber-derision. Tidak ada larangan jika Junus menghujat Jassin Sang Guru. Juga tidak ada pasal yang mengatur jebolan akademis untuk selalu berkritik akademis. Jadinya, yang dituntut dunia akademis adalah achievement, sementara di luar dunia akademis, performance lebih mewibawa. Namun, dua ciri ini tidak perlu dipandang dikhotomis, apalagi berhierarkhis. Esais tangguh, sebut saja, Goenawan, Emha, Hoerip, dan Tardji tak perlu jebolan dunia akademis, meskipun mereka sempat mondar-mandir di berbagai dunia tersebut. Esais Budi Darma, Jassin, Junus, Toda, Damono, Kayam, juga Faruk–sekedar menyebut beberapa nama–, mereka telah teruji secara akademis, namun esai mereka pun tampil cemerlang tanpa selalu ditopang oleh pola-pola kaku atribut akademis.
Barangkali soal pilihan ekspresi dan lingkungan yang mereka hadapi pun berpengaruh dalam melahirkan jenis tulisan mereka. Meskipun tidak ada larangan untuk berlaku sebaliknya atau berlaku sama di mana-mana, penulis yang bijak tentunya akan membedakan tulisan mana yang pantas disajikan dalam sebuah seminar maupun jurnal ilmiah dan mana yang cocok untuk kepentingan surat kabar yang biasanya cenderung melambungkan isu-isu aktual. Konsep “adil” yang sangat sederhana, yaitu menyimpan sesuatu pada tempatnya, bolehlah berlaku di sini. Almarhun Subagio tidak saja dapat menulis kritik ilmiah seperti terkumpul dalam Sosok Pribadi dalam Sajak (1980), namun ia pun dapat menulis esai–esai pendek, seperti terkumpul sebagian dalam Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (1989 )atau Sekilas Soal Sastra dan Budaya (1992). Namun orang pun tidak dapat menyalahkan bila Budi Darma di forum apa pun ia mampu “bersilat” dengan esai. Masalahnya, pembeda esai dan kritik (akademis atau ilmiah) sangatlah artifisial. Pembedaan itu dilakukan karena kita sebagai homo simbolicum dan homo faber lebih mudah menangkap konsep-konsep yang telah terkatagori dan teklasifikasi dalam taksonomi yang jelas. Meskipun cuma ilusif, dunia persekolahan memang masih menuntut demikian.
Dari Abrams kita mendapatkan pembagian bahwa semua kritik praktis dapat dibedakan menjadi kritik yudisial dan kritik impresionistik. Ini sama saja dengan pembagian kritik objektif dan kritik subjektif, atau seperti Roland Tanaka ( membaginya ke dalam kritik ilmiah dan kritik umum. Selain itu, karena berupaya menyampaikan kualitas perasaan dan respons serta pada titik tertentu berarti the adventures of a sensitive soul among masterpieces, maka kritik impresionistis bercenderung serupa dengan esai. Dengan demikian, batasan kritik sebagai bagian dari esai, seperti termaktub dalam Tifa Penyair dan Daerahnya Jassin (1989) , mestilah dibalik.
Pembagian kritik di atas, meskipun terjebak dikhotomis, mengingatkan kita bahwa keduanya sebenarnya bersifat kontinum, masih merupakan rangkaian kesatuan sehingga pembeda itu mesti dilihat dari kadar keumuman dan keilmiahannya. Namun, kita pun harus mafhum bahwa ada juga masyarakat awam yang umumnya akademis/ilmiah dan masyarakat akademis yang umumnya awamis!
Kini kita sampai pada arus zaman yang dianggap sebagai penghapus beda antara karya sastra dan kritik sastra. Menurut Faruk, sejauh menyangkut makna, semua bentuk wacana bersifat ambigu, mengandung banyak ruang kosong yang harus diisi tafsiran subjektif. Sinyalemen Faruk ini berada dalam hawa dekonstruksi, new new criticism, atau lebih luasnya lagi pascastrukturalisme dan pascamodernisme. Jadi, saya teringat kekhawatiran dan keprihatinan Teeuw (1995)terhadap zaman kita yang telah meninggalkan galaksi Gutenberg dan menuju pasca-Gutenberg, sementara pra-Gutenberg masih membayang. Sebabnya, soal kelisanan primer, keberaksaraan, dan kelisanan sekunder yang bertopang pada teknologi elektronik di dalam masyarakat kita tidak sehierarkis apa yang dibayangkan oleh paradigma modernisasi. Kondisi semacam ini mengakibatkan pemajalan daya kritis. Seorang siswa SMU merasa bersyukur ketika Sitti Nurbaya ditayangkan dalam bentuk sinetron karena tugas sastra yang dibebankan Guru kepadanya menjadi ringan. Pasalnya ia dan teman-temannya merasa kesulitatan dalam mengkaji perwatakan tokoh novel tersebut. Akhirnya novel ditutup dan disimpan di rak buku. Selanjutnya, ia menganalisis sinetron novel tersebut. Bi Inah malah terkuras air matanya karena Samsul Bachri mati ketika melawan pembangkang Datuk Meringgih.
Media elektronik sebagai reinforcement apresiasi sastra ada baiknya, meskipun kita harus tetap hati-hati karena karakternya yang bak pisau bermata dua. Tambahan lagi, apabila media tulisnya sendiri ditinggalkan, tampaknya pembinaan sastra akan berubah menjadi “pembinasaan” sastra. Jangan harap kelompok kerja siwa tadi akan mempertanyakan pengubahan lukanya serdadu Belanda–yang dalam novel tertembak pahanya oleh si dungu Bachtiar sehingga serdadu itu jalan terpincang-pincang, namun dalam sinetron yang tertembak diganti menjadi kuping salah satu antek Datuk Meringgih. Demikian juga, jangan tunggu reaksi Bi Inah tentang Samsul Bachri dan Datuk Meringgih yang dimatikan keduanya oleh pengarang dan sutradara karena mereka telah meninggalkan teks sastra dan menuju teks lain. Siswa tersebut merasa jengah dengan membaca sastra yang dianggapnya telah out to date, sementra Bi Inah memang belum meninggalkan atribut keniraksaraannya sehingga tetap hidup dalam dunia kelisanan primer dan sekunder dengan melompati dunia keberaksaraan.
Kisah siswa dan Bi Inah menyiratkan kepada kita bahwa masyarakat kita belum terbiasa dalam mengkaji konstruksi teks, terlebih-lebih mendekonstruksinya dengan mengisi ruang kosong dan yang ambigu. Soalnya, teksnya sendiri–dalam hal ini sastra tulis–telah ditinggalkan dan dilupakan.
Dalam kondisi seperti ini apakah masih ada harapan bahwa orang kebanyakan dapat mendekonstruksi teks dan memaknai ruang-ruang kosong, seperti yang dilakukan oleh Umar Junus terhadap novel Sitti Nurbaya? Junus sendiri sebelum sampai pada pemahaman ala pascastrukturalis, dia telah lama berkutat dengan teori-teori strukturalisme. Begitupun Faruk, ia dapat dikatakan sebagai “Sang Martir” strukturalisme genetik!
Pemahan teks yang struktural tampaknya tak dapat disangsingkan sebaga resep manjur untuk sampai pada makna teks ala pascastruktural. Lagi pula sebagian besar pemahaman kita terhadap teks masih dibayang-bayangi oleh strukturalisme. Linguis M.A.K Halliday (1992) menganggap teks sebagai bahasa yang berfungsi. Pakar sastra Luxemburg menganggapnya sebagai sekumpulan tanda yang mencakup berbagai relasi. Kata “fungsi dan relasi” jelas-jelas merupakan konsep strukturalisme. Konsep yang sangat sederhana pun masih banyak dipegang oleh masyarakat kita, misalnya saat menyebutkan “teks Pancasila” atau “teks Proklamasi”. Meskipun ini kedengarannya naif, kita tak dapat menafikannya. Apalagi, diskursus pascastrukturalis sangat menghargai diskursus-diskursus yang lain. Memang Roland Barthes sangat pascastrukturalis sebab menganggap teks sebagai susunan kutipan yang dicomot dari pusat-pusat budaya yang tak terbilang banyaknya sehingga kemampuan satu-satunya yang dinggap milik pengarang hanyalah mencampuradukkannya ke dalam bentuk tulisan. Akan tetapi, Barthes sangat sadar bahwa untuk sampai pada jendela yang membuatnya dapat melihat dunia dengan cara berbeda, ia mesti menaiki tangga.Ia pun sadar betul bahwa tangga yang ia naiki terbangun dari khazanah teori lama, tak terkecuali strukturalisme.
Barthes pun membedakan teks yang dapat dibaca (lisible) dan teks yang dapat ditulis (scriptible). Bagi Barthest pula. kritik sastra yang demikian sudah dapat ditebak: tumbuh dan berkembang seiring, kalau tidak tertinggal, dengan tumbuh dan berkembangnya sastra yang terpengaruh Barat, yang kemudian kita beri label “sastra Indonesia modern”.
Terlepas dari penetapan titimangsa awal sastra Indonesia modern, apakah tahun 1920-an ketika Balai Pustaka menerbitkan Azab dan Sengsara-nya Merari Siregar dan Sitti Nurbaya-nya Marah Roesli atau empat puluh tahun sebelumnya ketika Lie Kim Hok menghasilkan novel Siti Akbari dan Bintang Toedjoeh, tradisi sastra yang demikian tetap tertinggal jauh dari tradisi sastra lama kita, baik yang merupakan tradisi lisan maupun sair-sair dan hikayat-hikayat yang ditulis oleh para pujangga.
Namun meskipun seolah-olah terdapat tembok antara sastra lama dan sastra modern, entitas keduanya tidak selalu bertolak belakang. Dalam masa transisi, puisi Muhammad Yamin masih menampakkan unsur-unsur pantun dan sair. Setelah setengah abad berlalu, ciri-ciri tersebut muncul kembali. Se, teks yang scriptible memungkinkan pembaca untuk berperan aktif sehingga ia lebih menyukainya ketimbang yang lisible. Namun, apakah teks yang lisible sangat tertutup sehingga tidak dapat dianggap sebagai teks yang scriptible Jawabannya kita dapatkan dari Barthes (1979 )yang membagi teks kedalam teks terbuka dan teks tertutup. Namun, ia menandaskan bahwa pada dasarnya setiap teks, tak terkecuali karya sastra adalah opera aperta (teks terbuka). Jadi, wajar saja jika Junus (1989) membuka kembali teks lama seperti Sejarah Melayu, Hang Tuah, Sitti Nurbaya dan mampu mendekonstruksinya.
Kembali pada sastra dan kritik sastra, tampaknya lebih arif bila kita tidak menafikan salah satunya. Pembedaan masih dirasa perlu, namun sikap menyamakannya pun boleh-boleh saja. Masalahnya, tepat seperti dikatakan Toda (1984), metode cuma jalan, teori cuma ilmu, dan aliran cuma arus; yang penting adalah ketajaman menangkap bias-bias yang diberikan sebuah dunia sastra. Dan apabila dengan arus zaman kini Faruk dan pendukungnya sampai pada terminal yang dituju, itu pun sah-sah saja . Namun, bila arus terus membesar hingga “sabda” Derrida (1982) mendapatkan kebenarannya bahwa tiada sesuatu di luar teks, kritik akan tetap ada. Seperti awalnya, ia berada di keseharian kita atau menyusup dalam karya-karya sastra. Di sinilah kita dapat memaknai penuh ucapan Cak Nun bahwa kritik bukan untuk memperdayakan manusia, tapi justeru untuk menyelamatkannya. Begitu pula dengan tausiyah dari Aa Gim bahwa kritik itu ibarat cermin, yang mampu menunjukkan kekurangan-kekurangan kita. Namun, apabila ini juga dinafikan, semoga kita tidak dicap pengkhianat oleh Foucault, sebab ia telah memukul genderang demi menyerukan perang dengan segala bentuk totalitarian!
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1988. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and
Winston.
Awang, Hasyim. 1995. “Tradisi Kritik Kesusastraan Melayu” dalam Majalah Dewan
Sastera, Bilangan 8 Jilid 25, Agustus 1995.
Barthes, Roland. 1979. The Role of the Reader. Bloomington: Indiana University Press.
Darma, Budi. 1984. Solilikui: Kumpulan Esai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Darma, Budi. 1995. Harmonium. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Derrida, Jacques. 1982. Of Grammatology. Baltimore and London: The John Hopkins
University Press.
Eliot, T.S. 1960. The Sacred Wood. London: Methuen & Co. Ltd.
Greibstein, Sheldon Norman. 1968. Perspectives in Contemporary Criticism. New York:
Harper and Row.
Halliday, M.A.K. 1992. Bahasa, Komteks, dan Teks: Aspek-Aspek Bahasa dalam
Pandangan Semiotika Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Jassin, H.B. 1987. Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (cetakan ke-2, cetakan ke-1 tahun 1964). Jakarta: Gunung Agung.
Jassin, H.B. 1991. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung.
Junus, Umar. 1989. Fiksyen dan Sejarah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
Sastrowardoyo, Subagio. 1966. “Bicara tentang Sejarah Kritik Sastra” dalam majalah Horison, No. 6, Tahun 1966.
Sastrowardoyo, Subagio. 1983. Bakat Alam dan Intelektualisme. Jakarta: Balai Pustaka.
Sastrowardoyo, Subagio. 1988. “Tentang Kritik Humanistik dan Kritik Formalistik”
dalam majalah Humanitas, No. 7 Tahun 1988.
Sastrowardoyo, Subagio. 1989. Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasam:
Seberkas Catatan Sastra. Jakartra: Balai Pustaka.
Sastrowardoyo, Subagio. 1992. Sekilas Sastra dan Budaya. Jakarta Balai Pustaka.
Teeuw, A. 1995. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: .
Pustaka Jaya.
Toda, Dami. 1984. Hamba-Hamba Kebudayaan. Jakarta: Sinar Harapan.
Wellek, Rene. 1978. Concepts of Criticism. New Haven and London:Yale University
Press
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar